Jihad Melawan Tindak Kejahatan Korupsi


Indonesia adalah negara yang 89% penduduknya beragama Islam. Dalam peringkat korupsi negara-negara di dunia yang dibuat oleh salah satu lembaga pemantau korupsi internasional, Indonesia menempati urutan ketiga negara paling tinggi korupsinya di dunia, bahkan urutan pertama di Asia.

Apa atinya data tersebut? Dalam logika yang sederhana, kalau dua pernyataan di atas dianggap sebagai premis mayor dan premis minor, maka akan menghasilkan konklusi sebagai berikut; Negara yang 89% penduduknya muslim adalah negara yang paling korup di Asia, dan juara ketiga korupsi di dunia.

Tapi benarkah demikikan? Benarkah Islam mengajarkan budaya korupsi? Tentu saja dengan tegas kita akan mengatakan tidak. Kita akan dengan lantang menyatakan bahwa dalam Qur’anpun Allah dengan tegas melarang pedagang yang mengurangi kadar timbangannya.

Lalu siapa yang salah? Islamnya, muslimnya, atau Indonesianya? Ibda’ binafsik, begitu Nabi Saw bersabda. Kalau mau jujur, mungkin diri kita sendiri pernah, atau bahkan sering, menikmati hasil korupsi. Mungkin juga kita sendiri yang melakukan korupsi itu. Kalau kita sudah mampu jujur pada diri sendiri, dan ternyata kita memang benar pernah melakukannya, maka sudah saatnya kita mengutuk hal itu, lalu memulai kehidupan baru tanpa korupsi, sekecil apapun. Percayalah, tidak ada yang mampu mengubah perilaku kita kecuali diri kita sendiri.
***

Terungkapnya kembali indikasi kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di instansi pemerintah yang menangani keuangan Negara merupakan bukti sahih bawa negeri ini belum sepenuhnya terbebas dari kejahatan korupsi. Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk didalamnya reformasi birokrasi namun upaya tersebut belum berhasil secara maksimal. Apabila hal ini tidak segera mendapatkan perhatian khusus dan maksimal dari pemerintah, kita khawatir negeri ini akan hancur oleh perilaku korup para pejabatnya.

Fakta ini mungkin terasa menyakitkan, tetapi baik kita mengungkap kerusakan untuk kemudian kita perbaiki bersama secara terbuka demi masa depan anak cucu keturunan kita. Upaya saling menyalahkan baik antar institusi maupun antar individu pejabat instansi terkait bisa jadi kontraproduktif dengan upaya pemberantasan kejahatan korupsi itu sendiri, hukum harus ditegakan tanpa pandang status bagi siapapun yang terbukti bersalah.

Apa itu Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.

Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya.” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.

Pada intinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia.

Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam, menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta. Korupsi dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, baik al-Qur’an, al-Hadits maupun ijmâ’ al-‘ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas.

Dalam al-Qur’an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”

Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya (Al-Hadits).

Secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.

Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah. Beliau adalah figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan.

Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anak pun mengiyakannya.

Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi melalui sikap-sikap yang bertanggungjawab dengan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz? Wallahu’alambishawab
[Referensi: disarikan dari berbagai sumber – berbagai sumber red/Marzuki Wahid. “Anti Korupsi dalam Perspektif Islam”. Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung]

KEDUDUKAN dan KONSEP BURUH dalam ISLAM


Salah satu cara untuk memperoleh kemuliaan dunia juga akhirat, manusia diperintahkan giat dan rajin bekerja dalam rangka mencari rizki yang halal dan barokah. Sebagaimana firman Allah SWT: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash[28]: 77)

Islam juga menyatakan bahwa bekerja juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).

Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa bekerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” ( HR. Bukhari).
Konsep Perburuhan dalam Islam

Disamping memerintahkan manusia untuk bekerja, Islam juga menawarkan sistem sosial yang adil dan bermartabat. Dimana salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem perburuhan yang mencakup hubungan antara majikan, pekerja, dan pengupahan.

Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan buruh-majikan ini. Prinsip tersebut antara lain; prinsip kesetaraan (musâwah) dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana (QS. [49]: 13).

Prinsip keadilan (‘adâlah) adalah prinsip yang dirasa cukup ideal (QS. [16]: 90; [7]: 29; [16]: 90; [42]: 15). Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya (QS.[3]: 17; [2]: 177; [23]: 8; [5]: 1).

Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Akan tetapi, praktik dan fakta yang ada sebagaimana kita saksikan dan rasakan sekarang ini, masih menunjukkan hubungan yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar yang lebih besar, sering kali memanfaatkan posisi kaum pekerja yang dianggap lemah. Sebaliknya, tidak sedikit pekerja yang tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara maksimal karena merasa hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya konsep kesetaraan dan keadilan sebagaimana yang ditawarkan oleh Islam perlu untuk dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam rangka membangun hubungan yang lebih harmonis antara kaum pekerja dan pemilik modal melalui Undang-undang yang bermuatan unsur kesetaraan dan keadilan.

Hubungan Kemitraan

Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.

Firman Allah SWT: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Al-Zuhruf [43]: 32)

 

Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja majikan – pekerja adalah konsep penyewaan (ijârah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai musta’jir (penyewa) dan mu’jir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mu’jir adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah.

Antara musta’jir dan mu’jir terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing. Dalam akad ijârah ini, musta’jir tidak dapat menguasai mu’jir, karena status mu’jir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya.

Selain melalui konsep ijârah, hubungan kerja majikan – pekerja dapat dibangun atas konsep Islam lainnya. Di antaranya:

1. Musyârakah

Konsep musyârakah menempatkan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama, yaitu sama-sama menanggung profit and loss sharing (PLS). Keberadaan model kerja seperti ini diakui al-Qur’an, dalam surat 38 : ayat 24 yang artinya: “Dia (Daud) berkata “sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu”. (QS. Shad [38]: 24)

2. Mudhârabah

Mudhârabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Prinsip dari konsep mudhârabah ini adalah keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

3. Al-Ju’âlah

Islam juga memperkenalkan konsep kompensasi, persenan, atau hadiah. Konsep ini dikenal dalam tradisi fikih dengan istilah ju’âlah. Ju’âlah sendiri artinya adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk dikarjakan. Konsep ju’âlah merupakan suatu formula pekerjaan menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada hadiah atau kompensasi. Seperti ketika seseorang mengatakan “Siapa yang dapat menemukan jam tangan saya yang hilang akan mendapatkan seratus ribu rupiah”.

Dengan konsepsi seperti ini, ju’âlah bukanlah sebuah perjanjian melainkan suatu konsekuensi. Karena itu ju’âlah hanya membutuhkan ijab, yaitu “siapa yang dapat menemukan”, tidak membutuhkan qabul. Qabul di sini tidak diperlukan, karena pekerjaan ini bukanlah monopoli dari seseorang, tetapi menjadi milik siapa saja yang bersedia melakukannya. Dan merekalah yang mendapatkan jam tangan yang akan mendapat hadiah atau konpensasi.

Konsep Upah dalam Islam

Dalam kaitan membangun hubungan yang harmonis antara kaum buruh dan majikan Islam juga membahas persoalan yang berkaitan dengan upah. Konsep upah ini ditemukan dalam surat al-Thalâq ayat 6 yang artinya: “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (QS. al-Thalâq [65]: 6)

 

Upah berasal dari kata “al-ajru” yang berarti “al-iwadlu” (ganti), upah atau imbalan. Konsep upah muncul dalam kontrak ijârah, yaitu pemilikan jasa dari seseorang ajîr (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Ijârah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu yang disertai dengan kompensasi. Kompensasi atas imbalan tersebut berupa al-ujrah (upah).

Upah dapat berbentuk uang, barang yang berharga, atau manfaat. Dalam praktik, ibu yang menyusui terkadang diberi upah dengan makanan, pakaian, atau yang lainnya. Dalam Islam, upah merupakan salah satu unsur ijârah, selain tiga unsur lainnya; âqid (orang yang berakad), ma’qûd ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), dan manfaat. Ketentuan pengupahan harus memenuhi syarat-syarat:

  1. Adanya kerelaan kedua belah pihak yang berakad.
  2. Manfaat yang menjadi akad harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul masalah di kemudian hari.
  3. Objek akad itu sesuatu yang halal atau tidak diharamkan.
  4. Upah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Bernilai (mutaqawwim) di sini dapat diukur dari dua aspek; syar’i dan ‘urfi.

Dalam hal besar kecilnya upah, Islam mengakui kemungkinan terjadinya dikarenakan beberapa sebab; perbedaan jenis pekerjaan, perbedaan kemampuan, keahlian, dan pendidikan, pertimbangan bukan keuangan dalam memilih pekerjaan, mobilitas tenaga yang berbeda. Pengakuan perbedaan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. al-Zukhruf/43: 32)

Selain upah, Islam juga memberi perhatian terhadap hak-hak buruh. Hak-hak buruh yang diakui dalam Islam di antaranya; hak kemerdekaan, yang meliputi kemerdekaan profesi, kemerdekaan melakukan kontrak, dan kemerdekaan berbicara; hak pembatasan jam kerja; hak mendapatkan perlindungan; hak berserikat; hak beristirahat (cuti); dan hak mendapatkan jaminan sosial.

Hak-hak buruh/pekerja ini tidak berarti mengurangi kewajibannya untuk menjalankan pekerjaan secara maksimal dan memenuhi kontrak perjanjian. Dengan begitu kita dapat memperoleh gambaran bahwa Islam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia.***

Bekerja merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai mahluk yang mulia dalam kedudukannya sebagai khalifatullah fil ardh’. Untuk membangun hubungan yang harmonis antara kaum buruh dan majikan, Islam menawarkan konsep kesetaraan (musâwah) dan keadilan (‘adâlah). Oleh karenanya konsep ini perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) melalui pembenahan Undang-undang yang lebih memiliki muatan unsur kesetaraan dan keadilan sebagaimana dijelaskan diatas.

Peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) dirayakan setiap tanggal 1 Mei oleh berbagai serikat buruh di beberapa negara. Mereka melakukan berbagai aksi turun kejalan untuk menyatakan pendapat hingga menuntut hak-hak mereka. Sebagian aksi berlangsung damai dan simpatik, namun tidak jarang aksi demontrasi tersebut berujung kerusahan, bentrok dengan aparat keamanan, juga seringkali dibarengi dengan tindakan anarki. Hal ini terjadi tidak hanya di negara lain, didalam negeri juga beberapa kali terjadi.

Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat semestinya dapat di manfaatkan dengan baik untuk menyampaikan aspirasi yang diharapkan oleh kaum pekerja, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang baik juga. Terlebih konstitusi kita menjamin kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, dalam Islam pun hal tersebut dianggap merupakan suatu hak bagi setiap insan.

Tindakan anarki, memaksakan kehendak, apalagi sampai merugikan orang lain adalah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum dan juga kotraproduktif dengan upaya untuk memperbaiki nasib kaum pekerja.

 

Konsep Islam Merajut Ukhuwah


“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” (QS al-Hujurat [49]: 10).

Umat Islam mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah Swt melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik.

Menjaga keharmonisan, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal ini merupakan keniscayaan bagi umat Islam. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat. Sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.

Hubungan horizontal, interaksi antar¬sesama manusia, akan berjalan harmonis jika dilandasi keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara, terlepas dari adanya perbedaan suku, bangsa, dan agama. Ajaran Islam sendiri tidak menentang konsep persaudaraan universal ini, bahkan meneguhkan konsep persaudaraan universal ini demi terciptakan kehidupan yang damai dan harmonis.

Empat Macam Ukhuwah.
Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an mengatakan bahwa al-Qur’an memperkenalkan minimal empat macam jenis persaudaraan (ukhuwah). Pertama, ukhuwah ‘ubudiyyah, yakni persaudaraan karena sesama makhluk yang tunduk kepada Allah. Allah Swt berfirman, “Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya) kecuali umat-umat juga seperti kamu,” (QS al-An’am [6]: 38).

Kedua, ukhuwah insaniyyah atau basyariyyah, yakni persaudaraan karena sama-sama manusia secara keseluruhan. Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (QS al-Hujurat [49]: 13).

Ini berarti bahwa semua manusia adalah seketurunan dan dengan demikian bersaudara. Ketiga, ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan (lihat, QS al-Hujurat [49]: 13). Menurut Muhammad Imarah, pluralitas bangsa, suku bangsa, agama dan golongan merupakan kaidah yang abadi yang ber¬fungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam melakukan kebaikan, berlomba menciptakan prestasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa-bangsa dalam meng¬ga¬pai kemajuan dan ketinggian.

Keempat, ukhuwah diniyyah, yakni persaudaraan karena seagama (Ukhuwwah fi din al-Islam). Islam menyatakan bahwa umat Islam, dengan latar belakang yang berbeda, baik suku, etnis, keturunan, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya adalah bersaudara. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” (QS al-Hujurat [49]: 10).

Dalam sebuah hadits dilukiskan bahwa persaudaraan kaum muslim ibarat rumah yang mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam hadits lain digambarkan bahwa persaudaraan sesama muslim diibaratkan dengan tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka yang lain juga ikut sakit.

 

Faktor Penunjang Ukhuwah

Guna mewujudkan atau membumikan empat konsep persaudaraan di atas, al-Qur’an memberikan beberapa arahan.

Pertama, menghargai dan menghormati perbedaan serta berkomptesi secara sehat dalam melakukan kebajikan. Seseorang tidak boleh memaksakan orang lain untuk berpendirian sama dengannya. Bahkan juga dilarang untuk memaksa seseorang mengikuti agama tertentu (lihat, QS al-Baqarah [2]: 256).

Kedua, senantiasa menegakkan kebenaran dan berbuat adil (lihat, QS al-maidah 5]: 8). Menegakkan kebenaran dan keadilan merupakan syarat utama terwujudnya ta¬tanan masyarakat yang damai dan harmonis. Sejarah membuktikan bahwa persaudaraan yang harmonis tidak akan terwujud tanpa adanya komitmen bersama untuk senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ketiga, memperkecil jurang perbedaan dan memperbesar ruang persamaan. Jangan meng¬ungkit-ungkit perbedaan yang ada karena bisa menimbulkan rasa sakit hati di antara kelompok yang berbeda. Yang lebih penting adalah mencari titik persamaan (kalimatun sawa’) dalam rangka menjadi orang yang terbaik dalam pandangan Allah, yakni orang yang bertakwa.
Keempat, menjalin kerja sama dengan kelompok lain dalam membangun kemaslahatan bersama. Allah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya,” (QS al-Maidah [5]: 2).

Kelima, tidak memandang rendah, tidak pula menghina atau mengejek kelompok lain. Al-Qur’an melarang kita mengejek atau mengolok-olok kelompok lain atau memberi gelar yang menyakiti hati (lihat QS al-Hujurat [49]: 11).

Menyakut perbedaan pengamalan agama, mengutip pendapat Qurais Shihab, para ulama memperkenalkan tiga konsep meman¬tapkan ukhuwah diniyyah. Pertama, keragaman cara ibadah (tanawwu’al-’ibadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi Saw dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw.

Kedua, kesalahan dalam berijtihad mendapat pahala (al-mukhti’u fi al-ijtihad lahu ajr). Selama seseorang mengikuti pendapat se¬orang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya keliru. Namun perlu pula digarisbawahi bahwa yang mengemukakan ijtihad mau¬pun orang yang pendapatnya diikuti harus¬lah memiliki otoritas keilmuan.

Ketiga, hukum ada setelah ada ijtihad (la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid). Menurut Shihab, hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda.

Dari uraian di atas tentulah kita mafhum bahwa Islam adalah agama yang meng¬anjurkan pemeluknya mewujudkan persatuan dan persaudaraan, baik antarsesama umat Islam maupun dengan umat manusia secara keseluruhan. Islam mangajarkan agar kita hidup dengan landasan saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, tidak terbatas hanya antara satu golongan atau satu suku saja, tetapi antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, umat manusia secara keseluruhan, bahkan terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Karena itu, kita harus mampu memperlihatkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama persatuan dan persaudaraan untuk semua umat manusia di muka bumi ini. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mencintai dan mempertahankan, serta memelihara negara, mempersatukan umat dan membangun masyarakat.

Rasulullah Saw sebagai teladan terbaik memberika kita bagaimana membangun persaudaraan lintas golongan, ras, suku, dan agama. Awalnya masyarakat Arab adalah saling bermusuhan antara satu suku dengan suku yang lain. Namun berkat datangnya Rasulullah Saw, permusuhan itu sirna dan terjalinlah persatuan dan persaudaraan.

Demi menjaga persatuan dan persaudaraan, marilah kita hindari pertikaian dan permusuhan di antara sesama kita. Imam Ali berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang hak dan benar akan menjadi lemah dan hancur karena perselisihan dan per¬pecahan, dan suatu yang bathil terkadang menjadi kuat dan menang, karena persatuan dan kesepakatan”. Wallahu a’lam bis shawab.