Jihad Melawan Tindak Kejahatan Korupsi


Indonesia adalah negara yang 89% penduduknya beragama Islam. Dalam peringkat korupsi negara-negara di dunia yang dibuat oleh salah satu lembaga pemantau korupsi internasional, Indonesia menempati urutan ketiga negara paling tinggi korupsinya di dunia, bahkan urutan pertama di Asia.

Apa atinya data tersebut? Dalam logika yang sederhana, kalau dua pernyataan di atas dianggap sebagai premis mayor dan premis minor, maka akan menghasilkan konklusi sebagai berikut; Negara yang 89% penduduknya muslim adalah negara yang paling korup di Asia, dan juara ketiga korupsi di dunia.

Tapi benarkah demikikan? Benarkah Islam mengajarkan budaya korupsi? Tentu saja dengan tegas kita akan mengatakan tidak. Kita akan dengan lantang menyatakan bahwa dalam Qur’anpun Allah dengan tegas melarang pedagang yang mengurangi kadar timbangannya.

Lalu siapa yang salah? Islamnya, muslimnya, atau Indonesianya? Ibda’ binafsik, begitu Nabi Saw bersabda. Kalau mau jujur, mungkin diri kita sendiri pernah, atau bahkan sering, menikmati hasil korupsi. Mungkin juga kita sendiri yang melakukan korupsi itu. Kalau kita sudah mampu jujur pada diri sendiri, dan ternyata kita memang benar pernah melakukannya, maka sudah saatnya kita mengutuk hal itu, lalu memulai kehidupan baru tanpa korupsi, sekecil apapun. Percayalah, tidak ada yang mampu mengubah perilaku kita kecuali diri kita sendiri.
***

Terungkapnya kembali indikasi kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di instansi pemerintah yang menangani keuangan Negara merupakan bukti sahih bawa negeri ini belum sepenuhnya terbebas dari kejahatan korupsi. Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk didalamnya reformasi birokrasi namun upaya tersebut belum berhasil secara maksimal. Apabila hal ini tidak segera mendapatkan perhatian khusus dan maksimal dari pemerintah, kita khawatir negeri ini akan hancur oleh perilaku korup para pejabatnya.

Fakta ini mungkin terasa menyakitkan, tetapi baik kita mengungkap kerusakan untuk kemudian kita perbaiki bersama secara terbuka demi masa depan anak cucu keturunan kita. Upaya saling menyalahkan baik antar institusi maupun antar individu pejabat instansi terkait bisa jadi kontraproduktif dengan upaya pemberantasan kejahatan korupsi itu sendiri, hukum harus ditegakan tanpa pandang status bagi siapapun yang terbukti bersalah.

Apa itu Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.

Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya.” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.

Pada intinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia.

Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam, menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta. Korupsi dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, baik al-Qur’an, al-Hadits maupun ijmâ’ al-‘ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas.

Dalam al-Qur’an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”

Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya (Al-Hadits).

Secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.

Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah. Beliau adalah figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan.

Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anak pun mengiyakannya.

Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi melalui sikap-sikap yang bertanggungjawab dengan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz? Wallahu’alambishawab
[Referensi: disarikan dari berbagai sumber – berbagai sumber red/Marzuki Wahid. “Anti Korupsi dalam Perspektif Islam”. Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung]

Tinggalkan komentar