Membumikan Risalah Perdamaian Islam


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS Ali Imran [3]: 110).

Prof Dr Mohammad Sayed Tantawi—dalam pidato pembukaan konferensi International Conference for Islamic Scholars beberapa waktu lalu—me¬nyatakan bahwa bimbingan dan ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw menjadi obat dan rahmat bagi sekalian alam. Sheikh Al-Azhar ini mengemukakan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan yang bukan hanya khusus bagi umat Islam karena agama ini memang dibawa oleh semua nabi.

Hassan Hanafi, intelektual asal Mesir juga menegaskan bahwa Islam adalah aga¬ma perdamaian yang universal. Menurutnya, secara literal semua nabi terdahulu adalah muslim karena mereka menundukkan kehendaknya di bawah kehendak suci Tuhan. Wahyu yang mereka terima sebenarnya bertalian dalam satu mata rantai yang kemudian dipadukan dan disempurnakan dalam Islam.

Jadi, menurut Hasan Hanafi, Islam adalah agama yang dibawa setiap nabi untuk semua individu, semua bangsa, dan seluruh umat manusia. Di sinilah kode etik universal perlu diangkat sebagai jaminan atas cita-cita perdamaian dalam Islam, yaitu kesamaan esensi misi mereka dalam upaya menciptakan kemanusiaan dan keadilan di muka bumi.

Kekerasan
Dewasa ini umat Islam selalu dipojokkan dan seakan menjadi “pihak terdakwa” dari berbagai kasus tindak kekerasan, seperti kasus 11 September dan bom Bali. Tentu, pencitraan negatif ini membuat umat Islam tidak tenang dan merasa perlu untuk mengklarifikasi akan hal itu.

Secara objektif, tidak bisa kemudian tindakan segelintir umat Islam tersebut digeneleralisasi secara berlebihan dan menuduh semua Islam setuju dan menyetujui aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Islam, seperti diyakini oleh mayoritas umat Islam, adalah agama keselamatan (salamah). Hanya saja, perilaku oknum tertentu yang memakai jubah agama menyebab¬kan distorsi pemahaman mengenai Islam.

Kekerasan atas nama agama memiliki muatan yang sangat kompleks. Paling tidak, ada dua sisi yang menyebabkan Islam kemudian dipandang sebagai agama yang “bermasalah” gara-gara kekerasan atas nama agama itu. Pertama, bisa dilihat secara internal. Boleh jadi, kekerasan itu memang benar-benar dilakukan oleh sebuah organisasi atau beberapa oknum yang mengaku sebagai penganut sebuah agama.

Mereka melakukan itu disebabkan oleh sempitnya pemahamannya atas agama, dibarengi oleh sikap emosi yang tak tertahankan. Pemaknaan tekstual atas konsep jihad dan kafir menjadi penyebab aksi kekerasan yang mereka lakukan.

Kedua, secara eksternal. Pencitraan Islam yang dilakukan media asing menimbulkan bias tersendiri. Dalam pandangan dunia internasional, Islam seakan-akan dianggap sebagai “agama teroris”.

Di tengah suasana menegangkan, terka¬dang media bisa menjadi pemicu yang me-nambah rumit keadaan. Seharusnya, media perlu bersikap objektif dan membeberkan berita mengenai Islam secara faktual dan bisa dipertanggungjawabkan. Media asing (Barat) memiliki banyak kelemahan dalam mencitrakan Islam di saat menghubungkan¬nya dengan peristiwa pengeboman dan aksi kekerasan.

Moderatisme
Upaya strategis untuk membumikan risalah perdamaian dalam Islam adalah dengan membangun sikap moderatisme dalam beragama. Sikap ini perlu disertai dengan upaya pengembangan peran pro¬fetis agama yang banyak mengajarkan ke¬ma¬nusiaan.
Pesan tersebut bisa kita rujuk pada al-Qur’an yang menyatakan bahwa “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS Ali Imran [3]: 110).

Ada tiga makna yang terkandung dalam ayat ini, yaitu “umat terbaik” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah).

Konsep “amar ma’ruf” (menyuruh pada kebaikan) dan “nahy munkar” (mencegah kemungkaran) banyak ditafsirkan sebagai bentuk dakwah yang dilakukan secara formal dan terkadang sering menggunakan cara kekerasan.

Padahal, ada makna lain di balik itu, yaitu memberikan pemahaman yang baik pada umat mengenai ajaran-ajaran kebaikan agama dengan memberikan ruang kebebasan pada manusia itu sendiri. Substansinya bahwa Islam mengajarkan mengenai pesan-pesan ibadah, muamalah, dan syariah, yang kesemuanya itu diorientasikan untuk meraih makna hidup yang berlandaskan pada kemanusiaan.

Dakwah yang banyak dilakukan selama ini hanya berorientasi pada pencapaian makna agama secara normatif. Seharusnya umat perlu juga diajak berpikir kritis ter¬hadap berbagai fenomena yang ada dalam penampakan realitas keseharian mereka.

Pola pemikiran Islam yang profetis itu diaplikasikan dalam sebuah sikap moderatis¬me dalam beragama. Sikap ini sangat ditekankan dalam Islam. Sikap moderatisme umat Islam (ummatan wasthan) akan melahirkan kedewasaan dalam beragama se¬hingga akan sangat objektif dalam menyikapi segala persoalan yang ada dalam rea¬litas sosial.

Fenomena radikalisme agama disebabkan karena emosi beberapa pihak umat Islam yang tidak bisa ditahan. Belum lagi, hal itu diperkuat oleh pemahaman keagamaan yang sangat sempit. Misalkan, konsep mengenai jihad. Bagi mereka, jihad melawan kemungkaran dan “musuh-musuh” Allah adalah kemestian agama dan menjadi ukuran keberislaman seseorang.

Maka, kekerasanlah yang sangat mungkin mereka lakukan. Tentu, ini sangat berbahaya. Moderatisme beragama akan mengerem sejauh mana umat Islam ini harus pintar dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada.

Sikap moderat juga akan menghilangkan kecurigaan dalam memandang umat di luar Islam. Umat beragama yang lain adalah saudara sendiri dan mereka perlu diperlakukan secara damai dan toleran. Polarisasi antara Islam dan “yang lain” (the others), begitu pula perbedaan antar madzhab pemikiran dalam Islam juga perlu dicairkan.

Pandangan Islam moderat ini harus terus dikembangkan dan disosialisasikan pada masyarakat Islam secara keseluruhan. Islam adalah agama yang damai dan penuh mengajarkan kemanusiaan. Perdamaian adalah jiwa Islam yang telah mengakar sejak agama ini diturunkan ke muka bumi.

Islam bukanlah ajaran mengenai kekerasan. Umat Islam perlu meluruskan makna Islam ini dengan memberikan pemahaman baru terhadapnya. Disertai sikap moderatisme dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam konteks masa sekarang ini.
Wallahu A’lam bis shawab.

Tinggalkan komentar